Bu Subaidah. Perempuan paruh baya yang mentalnya sekuat baja. Beliau tulang punggung keluarga yang harus memperjuangkan nafkah sendiri untuk menghidupi ibunya yang renta dan kedua putranya yang masih belia. Anak pertama, Fadhilah namanya, baru saja masuk SMP sekaligus menjadi santri di sebuah pondok pesantren di Gunung Kidul. Anaknya yang kedua, Arjuna, saat ini masih SD kelas 5.
Kedua putranya beliau besarkan dari berjualan es kelapa muda dan makanan lotek yang menjadi sumber penghasilan utamanya selama bertahun-tahun. Beliau berjualan dari pagi hingga malam tiba. Warungnya tampak sangat sederhana. Atapnya ditutup dengan terpal biru, dan banner bekas untuk menutup bagian samping. Usaha kecil itu ternyata warisan dari sang ibu sejak 1982 yang ternyata terus mengalami penurunan seiring berjalannya waktu.
Bu Subaidah telah terbiasa berjuang dan berdiri di atas kaki sendiri. Beliau ditinggal sang ayah sejak dalam kandungan. Kemudian ditinggal sang suami saat mengandung anak kedua yang masih berusia 3 bulan.
Usaha kecil yang kini tersisa dua produk tersebut, dulu merupakan warung sembako yang menjual kebutuhan rumah tangga. Namun beliau mengalami tragedi pencurian. Etalase hilang. Diwaktu yang bersamaan, warung semakin sepi hingga akhirnya beralih usaha dari warung sembako menjadi warung makanan dengan varian soto, lotek, lontong sayur dan es kelapa muda.
Namun usaha beliau kian sepi seiring berjalannya waktu, hingga tidak ada sama sekali pembeli dalam jangka waktu setengah bulan akhir ini. Tak ada sepeserpun dana dan bahan makanan yang dapat dikonsumsi untuk bertahan hidup. Belum lagi biaya pendidikan yang harus dibayar sebesar 300.000 rupiah setiap bulan untuk anak pertamanya yang ada di pesantren.
Belum Ada Update
Belum Ada Donasi